Login Games Apps Casino Card Article

Polisi tetapkan 24 tersangka sindikat judol Komdigi Bagaimana modus operandi dan apa peran mereka

APKOFC
APKOFC Owner
calendar 03 Oct 2025
views 58 Readers

Description :
Sejumlah tersangka dihadirkan dalam konferensi pers pengungkapan kasus judi daring di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (25/11/2024).

Kepolisian telah menetapkan 24 tersangka sindikat judi online (Judol) yang melibatkan pegawai di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Dari seluruh tersangka yang ditetapkan Polda Metro Jaya, sembilan di antaranya adalah pegawai Komdigi dan satu staf ahli di kementerian tersebut, sementara sisanya adalah warga sipil. Adapun empat orang lain masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Salah satu tersangka yang berinisial AJ, berperan sebagai penyaring dan melakukan verifikasi agar situs judol tertentu tidak diblokir.

“Kami jawab, benar,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Metro Jaya Kombes Wira Satya Triputra mengonfirmasi peran AJ dalam sindikat tersebut kepada wartawan, Senin (25/11).

Oleh sejumlah pihak, AJ diduga sebagai keponakan dari Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Namun, isu ini dibantah oleh PDI Perjuangan.

"Saya tidak kenal dan tak pernah mendengar namanya sebelum ini. Dan saya juga tidak bisa mengkonfirmasi terkait hubungan yang bersangkutan dengan Ibu Mega," kata juru bicara PDI Perjuangan, Chico Hakim kepada BBC News Indonesia, Senin (25/11).

Apa peran dan bagaimana modus operandinya?
Kepolisian menyampaikan modus operandi sindikat judol ini melindungi situs-situs judi tertentu karena mereka membayar.

Setiap situs membayar hingga Rp24 juta, dan jumlahnya ada “ribuan” situs.

AJ dan AK, staf ahli Kominfo—sekarang Komdigi—berperan sebagai penyeleksi situs judol agar tidak diblokir Kominfo, polisi juga membeberkan peran anggota sindikat lainnya:

Empat orang sebagai bandar, pemilik serta pengelola situs judol yaitu A, BN, HE, dan J (DPO).

Tujuh orang sebagai agen pencari situs judol yaitu B, BA, HF, BK, JH (DPO), F (DPO) dan C (DPO).

Tiga orang lainnya berperan mengumpulkan daftar situs judol dan menampung transferan uang yaitu A alias M, MN dan DM.

Sembilan pegawai kominfo berperan sebagai penambang situs judol dan melakukan pemblokiran yaitu DI, FD, SA, YM, YP, RP, AP, dan RD.

"Dua orang beperan dalam TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) inisial D dan E,” kata Kapolda Metro Jaya, Karyoto.

Dari sindikat ini, polisi telah menyita uang tunai maupun aset mereka sebanyak Rp167 miliar. Nilai ini termasuk mobil mewah dan 11 unit tanah dan bangunan.

Dari penelusuran ini, polisi juga menyita “tiga pucuk senjata api, dan 250 butir peluru.”

Menurut keterangan polisi, AJ bersama AK bertugas menyeleksi judol yang telah menyetor uang agar tak terkena blokir. Mereka berdua bersama A alias M merupakan rekrutan T.

“Satu orang berperan merekrut dan mengkordinir para tersangka, khususnya tersangka inisial A alias M, AK dan AJ sehingga mereka memiliki kewenangan menjaga dan melakukan pemblokiran website judi, (itu) inisial T,” kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Karyoto, dalam konferensi pers Senin (25/11).

T yang dimaksud disebut pernah menjabat komisaris sebuah BUMN, dan diduga sebagai kader PDI Perjuangan.

Apa respons PDIP?

"Sepengetahuan saya mereka bukan pengurus, dan tidak ada juga namanya di dalam SK tim apa pun yang resmi kami setorkan ke KPU," jelas juru bicara PDI Perjuangan, Chico Hakim kepada BBC News Indonesia, Senin (25/11).

Selain itu, Chico juga menganggap kasus AK yang baru diungkap pada masa tenang Pilkada sebagai "politisasi hukum".

"Penggunaan hukum sebagai alat politik adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi. Namun, rakyat Indonesia semakin cerdas dan sadar bahwa judi online dapat berkembang masif karena dilindungi oleh oknum aparat dan penguasa," katanya.

PDIP, kata dia, juga mengutuk keras pembiaran judi online yang dibiarkan tumbuh subur tanpa tindakan tegas dari aparat penegak hukum.

"Sejak kasus Ferdy Sambo mencuat, semestinya aparat bergerak memberantas judi online hingga ke akar-akarnya, bukan membiarkannya menjadi masalah akut seperti saat ini. Ketidakseriusan ini mencerminkan lemahnya komitmen penegakan hukum," tandas Chico.

Dalam keterangan lainnya, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Ronny Talapessy, menegaskan bahwa tersangka kasus judi online (judol), Alwin Jabarti Kiemas, bukan kader partainya, sebagaimana dikutip dari Tribunnews.

"Yang bersangkutan bukan keluarga dan juga bukan kader PDI Perjuangan," kata Ronny, yang menilai ada upaya mendiskreditkan PDIP pada masa tenang jelang pencoblosan Pilkada 27 November.

Dia menuturkan, pihaknya akan melaporkan akun media sosial yang mengaitkan Alwin dengan PDIP.

"Kami akan melaporkan akun media sosial yang sengaja menyebarkan kesimpulan tendensius bahwa Alwin ini adalah keponakan dan kader PDI Perjuangan," katanya.

Apakah ada aliran dana ke partai politik?
Pertanyaan ini ikut mewarnai konferensi pers Polda Metro Jaya.

Dirreskrimsus Polda Metro Jaya, Wira Satya Triputra mengatakan: “Kita sudah melakukan koordinasi (dengan PPATK), tapi sampai dengan saat ini hasilnya kami masih tunggu.”

Saat ditanyai hal ini, Ketua Kelompok Humas PPATK, M. Natsir Kongah masih belum mau menjelaskan rincian. Ia mengatakan, "Hasil analisis dan hasil pemeriksaan yang merupakan produk PPATK hanya disampaikan kepada penyidik.”

Sejumlah pihak menilai penangkapan belasan pegawai Komdigi tidak akan memberantas judi online, kecuali aparat Indonesia mampu menyentuh para tokoh utama kejahatan tersebut.

Walau pemerintah menyebut penangkapan itu merupakan upaya memberantas judi online, sebagian kalangan yakin persoalan menahun ini tak akan bisa tuntas jika penindakan tidak menyentuh para bandar dan pengendali utamanya.

Apa saja rencana pemerintah? Mengapa rencana itu diragukan? Dan bagaimana cerita orang-orang yang pernah candu terhadap judi online?

Isu prioritas 100 hari pertama Presiden Prabowo

Kepolisian di wilayah Kota Padang, Sumatra Barat, sejak awal November lalu gencar menindak judi online.

Pada Sabtu (02/11) tengah malam, polisi menangkap dua laki-laki di sebuah warung dengan tuduhan bermain judi online.

Kepala Polsek Padang Timur, AKP Harmon, kemudian menyampaikan klaim kepada pers bahwa penangkapan itu merupakan “langkah nyata menjawab keresahan masyarakat terhadap judi online”.

Judi online merupakan salah satu persoalan prioritas dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto.

Sejumlah pejabat tinggi negara belakangan telah menyampaikan rencana kerja dan janji-janji mereka untuk memberantas judi online tersebut.

Menko Polkam Budi Gunawan, misalnya, membentuk unit khusus yang dipimpin Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit. Tugas utama unit itu adalah memberantas judi online.

Berbagai penangkapan pun, seperti yang terjadi di Padang, kemudian memang berlangsung di sejumlah daerah.

Seorang mahasiswi di Medan ditangkap pada 3 November atas tuduhan mengiklankan judi online di media sosial.

Di Sukabumi dan Majalengka, Jawa Barat, pada hari yang sama, kepolisian menangkap pembuat konten media sosial atas tuduhan menyebarkan promosi judi online.

Di Jakarta, akhir pekan lalu, penangkapan juga dilakukan terhadap belasan pegawai Komdigi—orang-orang yang selama ini tidak dianggap terlibat dalam jaringan judi online di Indonesia.

Mereka dituduh secara sengaja tidak memblokir situs-situs judi online agar mendapat imbalan uang.

Kekesalan mantan pejudi online
“Saya kecewa. Ternyata ada yang melindungi situsnya,” kata Adi, warga Pamekasan, Jawa Timur, yang pernah kecanduan judi online.

“Tidak boleh ada yang dilindungi, semua harus diberantas supaya adil,” ujar Adi.

Perkataan tersebut merupakan respons Adi terhadap penangkapan belasan pegawai Komdigi.

Menurut Adi, penangkapan itu merupakan bukti bahwa selama ini pemerintah gagal melindungi masyarakat dari judi online.

“Masih banyak situs judi yang berkeliaran dan merajalela,” ujarnya.

Adi merupakan pekerja serabutan. Dia tak memiliki pendapatan tetap. Terkadang dia berjualan motor bekas, sementara pada waktu-waktu lainnya dia menjadi penjaga toko.

Walau kondisi keuangan rumah tangganya tidak menentu, Adi sempat rajin bermain judi online, bahkan pada taraf yang dia sebut kecanduan.

”Saya tertarik setelah melihat teman. Cara mendapat uangnya gampang, enggak usah kerja keras,” kata Adi.

Adi berkata, dia pernah meraup 13 juta dari judi online. Pendapatan itu membuatnya terus tergiur mengadu peruntungan.

Namun bukannya untung, belakangan dia justru kehilangan banyak uang.

“Bandar memancing agar kita tergiur main terus. Saya dikasih menang sedikit, jadi terus main, nanti setelah itu lama-lama saya tidak pernah menang lagi,” ujar Adi.

Indra, warga Padang, menyampaikan penyesalan serupa. Karena sempat mendapat uang dari bermain judi online, dia akhirnya merasa candu.

Walau begitu, pendapatan dari situs judi online yang dia mimpikan itu tak pernah terwujud. Dia justru merugi belasan juta.

“Ada penyesalan. Ada efeknya ke kehidupan, apalagi saya kan sudah punya keluarga,” kata Indra.

Indra berkata, sejumlah koleganya juga mengalami kencaduan dan penyesalan yang sama. Merujuk situasi itu, dia menilai pemerintah gagal melindungi masyarakat dari jaringan judi online.

“Dampaknya sudah merata ke semua lini, dari anak muda bahkan orang yang sudah berkeluarga,” ujar Indra.

“Pemerintah kan yang memiliki kewenangan untuk menghapus situs judi online dan promosinya di media sosial.

“Yang berbahaya itu iklan judi online di media sosial. Yang tadinya enggak tahu, di rumah mencoba main dan tiba-tiba terjerumus,” kata Indra.

Bisakah rantai kejahatan judi online diungkap?
Judi online secara spesifik dilarang oleh UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) versi terbaru, nomor 1 tahun 2024. Beleid itu memuat dua pasal yang terkait judi online.

Pasal 27 ayat (2) melarang setiap orang mendistribusikan atau menawarkan informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.

Setiap orang yang melanggar pasal tersebut, diancam hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar, seperti diatur dalam Pasal 45 ayat (3).

Larangan menawarkan perjudian juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) versi terbaru, nomor 1 tahun 2023.

Pasal 427 KUHP secara khusus memberi ancaman penjara paling lama tiga tahun dan denda maksimal Rp50 juta bagi setiap orang yang bermain judi. Namun aturan ini baru dapat digunakan penegak hukum saat KUHP versi terbaru resmi berlaku, yaitu pada 2026.

Sementara itu KUHP versi terdahulu memuat ancaman hukuman bagi orang-orang yang menawarkan dan mengikuti perjudian.

Menurut Pasal 303 bis ayat (1) KUHP tersebut, baik yang menawarkan maupun yang menjadi pelaku perjudian, dapat dipenjara hingga empat tahun dan dijatuhi denda paling banyak Rp10 juta.
🌐 Website : APKOFC

Related Posts