News
Jepang negara supercanggih tapi mengapa gagap teknologi digital
APKOFC
Owner
Description :
Terlepas dari semua inovasi teknologi canggihnya, daya saing digital Jepang masih tertinggal dari negara-negara maju.
TOKYO: Dengan robot-robot dan kereta pelurunya yang mengagumkan, Jepang seperti negara impian yang kaya akan teknologi. Namun di balik itu semua, negara ini masih belum memanfaatkan kemajuan digital sepenuhnya, membuatnya rentan di era serba terkoneksi.
Pada Januari, Badan Kepolisian Nasional Jepang mengungkap kelompok peretas asal China, MirrorFace, yang menarget perusahaan dan instansi pemerintah sejak 2019.
Serangan ini menarget 210 entitas—termasuk institusi dan individu—untuk mencuri data keamanan dan teknologi baru.
Gangguan siber juga melumpuhkan kehidupan sehari-hari, seperti pada Desember tahun lalu ketika lebih dari 70 penerbangan Japan Airlines tertunda. Pada 2023, operasi pelabuhan terbesar di Jepang terhenti lebih dari 48 jam akibat peretasan sistem.
“Pemerintah menyebutkan bahwa serangan siber menyerbu Jepang setiap 13–14 detik sekali,” jelas Motohiro Tsuchiya, profesor Program Pasca sarjana Media dan Tata Kelola Universitas Keio.
Kendati banyak negara menghadapi ancaman serupa, Jepang lebih rentan karena transformasi digitalnya berjalan lambat. Pada 2024, negara ini hanya menempati peringkat ke-31 dalam daya saing digital global.
“Organisasi setempat belum cukup bergantung pada teknologi informasi,” ujar direktur teknologi Nihon Cyber Defence, Toshio Nawa.
Alat digital modern masih kurang dimanfaatkan. Januari lalu, 77 persen sekolah dilaporkan masih menggunakan mesin faks untuk berkomunikasi. Survei tahun 2023 juga menunjukkan 40 persen warga Jepang mengaku masih memakainya.
Baru di pertengahan tahun ini pemerintah Jepang benar-benar menghentikan penggunaan disket untuk pengiriman berkas—14 tahun setelah produksi disket terakhir.
Sistem usang yang masih dipakai dalam kehidupan sehari-hari kerap mengejutkan turis, mengingat citra futuristik Jepang.
“[Pertama kali] teman-teman saya dari luar negeri datang ke Jepang, mereka kagum sekali,” jelas Kotaro Tamura, asisten profesor di Lee Kuan Yew School of Public Policy.
Fitur toilet otomatis yang bisa memutar musik, restoran sushi berjalan, robot humanoid di resepsionis perusahaan, dan arena gim membuat orang-orang merasa “orang Jepang tinggal di masa depan.”
Namun, kata Tamura, “Kami pandai merancang dan membangun perangkat keras. Tapi kami tak pandai memanfaatkan perangkat yang kami punya.”
Mengapa sebagian orang Jepang sulit beradaptasi dengan era digital? Apa dampaknya jika Jepang terus tertinggal? Program Insight CNA menelusuri akar masalah dan upaya mengejar ketertinggalan.
MENGHINDAR DARI KETIDAKPASTIAN
Pandemi COVID-19 menjadi momentum Jepang terpaksa membenahi keterbatasan digitalnya. Studi 2019 menunjukkan hanya 7,5 persen dari hampir 56.000 prosedur administrasi yang sepenuhnya daring.
Meski kerja jarak jauh mendesak pemerintah dan bisnis untuk beralih digital, transisi berjalan tidak mulus.
Salah satu simbol lambannya transformasi digital di Jepang adalah stempel pribadi “hanko”. Hingga kini, stempel masih digunakan untuk banyak transaksi perbankan, perumahan, dan dokumen perusahaan.
Survei menunjukkan, selama pandemi hampir 60 persen pekerja dari rumah harus kembali ke kantor minimal sekali seminggu hanya untuk mengurus dokumen berstempel.
Pada 2020, pemerintah menghapus kewajiban hanko dari 14.700 prosedur administrasi. Namun, 83 prosedur tetap memerlukannya, termasuk registrasi kendaraan dan perusahaan.
Para ahli menilai resistensi modernisasi sudah mengakar dalam budaya. Orang Jepang cenderung “menghindari ketidakpastian” dengan memilih sistem lama yang stabil ketimbang mencoba yang baru.
“Sepertinya ini budaya lama di Jepang: mempertahankan sistem untuk waktu yang lama,” ujar Nawa. “Dalam istilah TI, ini disebut sistem warisan.”
Faktor demografi juga berperan. Hampir tiga dari 10 penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas, sementara studi 2021 menemukan hampir sepertiga warga usia 50–79 tahun tidak antusias terhadap digitalisasi.
Bahkan generasi muda pun tidak selalu mendorong perubahan. “Banyak anak muda memilih cara lama, mengikuti budaya Jepang yang diwariskan,” kata Nawa.
Yuriko, seorang penerjemah, sempat kewalahan saat mencoba memperbarui alamat lewat portal My Number pemerintah.
“Kalau aku cari dan unduh formulir sendiri, bagaimana kalau nanti salah isi?” ujarnya. “Langsung ke kantor distrik masih jadi pilihan tercepat. Cara lama mungkin sedikit ribet, tapi aman.”
Dari sekian banyak usaha kecil dan menengah (UKM) yang menyumbang lebih dari 99 persen perusahaan Jepang, digitalisasi juga berjalan lambat.
Hampir seperempat perusahaan dengan kurang dari 300 karyawan mengaku belum memulai digitalisasi proses kerja, menurut Japan Institute for Promotion of Digital Economy and Community.
Enam dari 10 UKM dengan kurang dari 100 karyawan tidak memiliki tim khusus transformasi digital, berdasarkan buku putih 2023 Badan Promosi Teknologi Informasi Jepang.
Selain itu, separuh perusahaan tidak membahas strategi keamanan siber di tingkat eksekutif. Banyak yang lebih memprioritaskan operasional harian, meski ekonomi lesu.
“Ini terkait manajemen yang tidak merasa ada urgensi atau tidak paham TI,” jelas Nawa.
Eksekutif senior kerap gagap teknologi. Sementara pakar muda yang dilibatkan sering dibatasi kewenangannya.
“Ketika orang-orang yang sukses dengan cara lama menduduki posisi manajemen atas, mereka akan memaksakan cara kerja lama,” tambah Nawa.
Budaya kerja yang menunggu konsensus juga memperlambat adopsi teknologi. Ungkapan seperti “mungkin terlalu dini untuk diubah” atau “kita bahas lain waktu saja” kerap terdengar, kata Nawa.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan Jepang butuh dua minggu menyetujui penggunaan perangkat lunak anti-malware, padahal saat itu tengah mengalami serangan siber.
“JURANG DIGITAL” DI JEPANG
Jepang saat ini mendekati apa yang disebut Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri sebagai “jurang digital.” Jika perusahaan tidak segera bertransformasi, negara ini berpotensi kehilangan hingga ¥12 triliun (Rp1,35 triliun) per tahun mulai tahun depan.
Untuk menghindari krisis ini, pemerintah membentuk Badan Digital pada 2021 guna mendorong transformasi.
“Jika tidak melakukan digitalisasi, perusahaan akan tertinggal dalam produktivitas dan persaingan,” tegas Nawa.
Kesenjangan digital juga bisa menunda komunikasi lintas negara dan merusak reputasi Jepang, tambahnya.
Sebagai pusat manufaktur, keuangan, dan telekomunikasi global, Jepang menjadi target empuk peretas.
Menurut Badan Kepolisian Nasional, rata-rata insiden akses internet mencurigakan tahun lalu mencapai rekor lebih dari 9.500 kasus per hari. Hampir semua percobaan berasal dari luar negeri, terutama menarget sektor penting seperti dirgantara dan semikonduktor.
“Jepang adalah salah satu perekonomian terbesar di dunia, sehingga banyak kekayaan intelektual dan informasi yang harus dilindungi,” jelas Yohei Ishihara, evangelis keamanan di perusahaan keamanan siber Trend Micro.
Serangan siber bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa terdeteksi. Malware mencuri informasi “secara diam-diam,” tambah Tsuchiya.
Ketika peretas membobol akun Microsoft eksekutif di Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA), serangan itu tak terdeteksi berbulan-bulan hingga akhirnya ada peringatan resmi.
Kerentanan ini menjadi perhatian internasional karena dapat memengaruhi aliansi keamanan Jepang. Di bawah perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat (AS), misalnya, AS berkewajiban melindungi Jepang jika diserang.
Namun, pertahanan siber yang lemah bisa jadi titik rawan dalam aliansi, menurut mantan Direktur Intelijen Nasional AS Dennis Blair pada 2022.
Tsuchiya, yang juga wakil presiden Universitas Keio untuk keterlibatan global, mengatakan: “Jika sesuatu terjadi di Asia Timur, misalnya di Taiwan atau Semenanjung Korea, Jepang harus bergantung pada AS."
“Tetapi jika militer AS tidak percaya pada sistem digital pemerintah atau Pasukan Pertahanan Diri Jepang, keamanan nasional bisa terancam.”
BAGAIMANA JEPANG MENGEJAR KETERTINGGALAN
Meski diawali dengan lambat, Jepang kini mendorong reformasi digital untuk mengejar ketertinggalan.
April tahun lalu, pemerintah mengumumkan rencana sistem penilaian keamanan siber perusahaan. Perusahaan diwajibkan memperbarui perangkat lunak, membatasi akses data sensitif, dan memenuhi persyaratan ketat, terutama di industri strategis seperti energi dan semikonduktor.
“Jika tidak memenuhi standar, perusahaan bisa kehilangan peluang bisnis karena pelanggan menuntut tingkat keamanan tertentu,” jelas Ishihara.
Pada Mei tahun ini, parlemen Jepang mengesahkan Undang-Undang Pertahanan Siber Aktif. Aturan ini memungkinkan otoritas bekerja sama dengan penyedia infrastruktur penting untuk melacak sumber serangan—akses yang sebelumnya dibatasi undang-undang privasi data.
Selain itu, militer kini diberi kewenangan melumpuhkan server asing yang dianggap bermusuhan secara proaktif. “Pertahanan siber aktif memungkinkan hal yang belum mampu dilakukan Jepang sejauh ini,” kata Tsuchiya.
Langkah ini melanjutkan strategi keamanan nasional baru yang diumumkan pada 2022, termasuk rencana menambah personel pertahanan siber dari 890 menjadi 4.000 pada 2028, didukung 16.000 staf.
Namun, kekurangan tenaga terampil tetap menghambat. Pada 2020, Jepang kekurangan 304.000 ahli TI; angka ini diperkirakan melonjak menjadi lebih dari 545.000 pada 2030.
“Daya tampung fakultas IT sudah lama tidak berubah,” ujar Makoto Takahashi, pemimpin redaksi situs lowongan Mynavi.
“Padahal kebutuhan tenaga TI terus meningkat, sehingga persaingan rekrutmen makin ketat.”
Untuk mendukung universitas dan politeknik, pemerintah menyuntik dana ¥300 miliar (Rp 33,8 triliun) ke bidang studi baru seperti teknologi digital.
Pelajaran pemrograman komputer juga dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah sejak 2012, lalu diperluas ke sekolah dasar pada 2020 dan sekolah menengah atas pada 2022. Namun penerapan tidak merata.
“Setahu saya, hanya 3–5 jam per tahun yang dialokasikan untuk tujuan ini,” ungkap Tomohiro Murano, pendiri Arschool, penyedia kursus pemrograman.
Dalam banyak kasus, sekolah kekurangan guru berkualifikasi; pelajaran kadang hanya berupa latihan mengetik.
Meski begitu, pemerintah berencana menambah 19.000 kursi mahasiswa baru sains dan TI pada 2030.
Sementara itu, perusahaan Jepang merekrut pekerja asing. Jumlahnya meningkat tiga kali lipat menjadi 91.000 dalam satu dekade, atau 3,1 persen tenaga kerja sektor TI dan komunikasi di negara tersebut.
Namun, menarik tenaga asing tetap sulit. “Gajinya tidak setinggi di negara lain,” kata Takahashi. “Selain itu, bahasa dan budaya kerja jadi kendala.”
Tamura menilai Jepang perlu mengakhiri sistem senioritas dan diskriminasi terhadap pekerja asing. “Kita harus memberi bayaran setara negara lain dan memperlakukan mereka dengan baik agar bisa berkembang maksimal,” ujarnya.
Tantangan lain adalah keengganan warga untuk berubah. Hampir satu dekade setelah konsep Society 5.0 diperkenalkan—visi integrasi dunia maya dan nyata—“kecenderungan mempertahankan sistem warisan tak kunjung berubah,” keluh Nawa.
“Itu sebabnya digitalisasi jadi perubahan besar yang harus dilakukan. Jika gagal, pertumbuhan Jepang bisa terhenti.”
Pada Januari, Badan Kepolisian Nasional Jepang mengungkap kelompok peretas asal China, MirrorFace, yang menarget perusahaan dan instansi pemerintah sejak 2019.
Serangan ini menarget 210 entitas—termasuk institusi dan individu—untuk mencuri data keamanan dan teknologi baru.
Gangguan siber juga melumpuhkan kehidupan sehari-hari, seperti pada Desember tahun lalu ketika lebih dari 70 penerbangan Japan Airlines tertunda. Pada 2023, operasi pelabuhan terbesar di Jepang terhenti lebih dari 48 jam akibat peretasan sistem.
“Pemerintah menyebutkan bahwa serangan siber menyerbu Jepang setiap 13–14 detik sekali,” jelas Motohiro Tsuchiya, profesor Program Pasca sarjana Media dan Tata Kelola Universitas Keio.
Kendati banyak negara menghadapi ancaman serupa, Jepang lebih rentan karena transformasi digitalnya berjalan lambat. Pada 2024, negara ini hanya menempati peringkat ke-31 dalam daya saing digital global.
“Organisasi setempat belum cukup bergantung pada teknologi informasi,” ujar direktur teknologi Nihon Cyber Defence, Toshio Nawa.
Alat digital modern masih kurang dimanfaatkan. Januari lalu, 77 persen sekolah dilaporkan masih menggunakan mesin faks untuk berkomunikasi. Survei tahun 2023 juga menunjukkan 40 persen warga Jepang mengaku masih memakainya.
Baru di pertengahan tahun ini pemerintah Jepang benar-benar menghentikan penggunaan disket untuk pengiriman berkas—14 tahun setelah produksi disket terakhir.
Sistem usang yang masih dipakai dalam kehidupan sehari-hari kerap mengejutkan turis, mengingat citra futuristik Jepang.
“[Pertama kali] teman-teman saya dari luar negeri datang ke Jepang, mereka kagum sekali,” jelas Kotaro Tamura, asisten profesor di Lee Kuan Yew School of Public Policy.
Fitur toilet otomatis yang bisa memutar musik, restoran sushi berjalan, robot humanoid di resepsionis perusahaan, dan arena gim membuat orang-orang merasa “orang Jepang tinggal di masa depan.”
Namun, kata Tamura, “Kami pandai merancang dan membangun perangkat keras. Tapi kami tak pandai memanfaatkan perangkat yang kami punya.”
Mengapa sebagian orang Jepang sulit beradaptasi dengan era digital? Apa dampaknya jika Jepang terus tertinggal? Program Insight CNA menelusuri akar masalah dan upaya mengejar ketertinggalan.
MENGHINDAR DARI KETIDAKPASTIAN
Pandemi COVID-19 menjadi momentum Jepang terpaksa membenahi keterbatasan digitalnya. Studi 2019 menunjukkan hanya 7,5 persen dari hampir 56.000 prosedur administrasi yang sepenuhnya daring.
Meski kerja jarak jauh mendesak pemerintah dan bisnis untuk beralih digital, transisi berjalan tidak mulus.
Salah satu simbol lambannya transformasi digital di Jepang adalah stempel pribadi “hanko”. Hingga kini, stempel masih digunakan untuk banyak transaksi perbankan, perumahan, dan dokumen perusahaan.
Survei menunjukkan, selama pandemi hampir 60 persen pekerja dari rumah harus kembali ke kantor minimal sekali seminggu hanya untuk mengurus dokumen berstempel.
Pada 2020, pemerintah menghapus kewajiban hanko dari 14.700 prosedur administrasi. Namun, 83 prosedur tetap memerlukannya, termasuk registrasi kendaraan dan perusahaan.
Para ahli menilai resistensi modernisasi sudah mengakar dalam budaya. Orang Jepang cenderung “menghindari ketidakpastian” dengan memilih sistem lama yang stabil ketimbang mencoba yang baru.
“Sepertinya ini budaya lama di Jepang: mempertahankan sistem untuk waktu yang lama,” ujar Nawa. “Dalam istilah TI, ini disebut sistem warisan.”
Faktor demografi juga berperan. Hampir tiga dari 10 penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas, sementara studi 2021 menemukan hampir sepertiga warga usia 50–79 tahun tidak antusias terhadap digitalisasi.
Bahkan generasi muda pun tidak selalu mendorong perubahan. “Banyak anak muda memilih cara lama, mengikuti budaya Jepang yang diwariskan,” kata Nawa.
Yuriko, seorang penerjemah, sempat kewalahan saat mencoba memperbarui alamat lewat portal My Number pemerintah.
“Kalau aku cari dan unduh formulir sendiri, bagaimana kalau nanti salah isi?” ujarnya. “Langsung ke kantor distrik masih jadi pilihan tercepat. Cara lama mungkin sedikit ribet, tapi aman.”
Dari sekian banyak usaha kecil dan menengah (UKM) yang menyumbang lebih dari 99 persen perusahaan Jepang, digitalisasi juga berjalan lambat.
Hampir seperempat perusahaan dengan kurang dari 300 karyawan mengaku belum memulai digitalisasi proses kerja, menurut Japan Institute for Promotion of Digital Economy and Community.
Enam dari 10 UKM dengan kurang dari 100 karyawan tidak memiliki tim khusus transformasi digital, berdasarkan buku putih 2023 Badan Promosi Teknologi Informasi Jepang.
Selain itu, separuh perusahaan tidak membahas strategi keamanan siber di tingkat eksekutif. Banyak yang lebih memprioritaskan operasional harian, meski ekonomi lesu.
“Ini terkait manajemen yang tidak merasa ada urgensi atau tidak paham TI,” jelas Nawa.
Eksekutif senior kerap gagap teknologi. Sementara pakar muda yang dilibatkan sering dibatasi kewenangannya.
“Ketika orang-orang yang sukses dengan cara lama menduduki posisi manajemen atas, mereka akan memaksakan cara kerja lama,” tambah Nawa.
Budaya kerja yang menunggu konsensus juga memperlambat adopsi teknologi. Ungkapan seperti “mungkin terlalu dini untuk diubah” atau “kita bahas lain waktu saja” kerap terdengar, kata Nawa.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan Jepang butuh dua minggu menyetujui penggunaan perangkat lunak anti-malware, padahal saat itu tengah mengalami serangan siber.
“JURANG DIGITAL” DI JEPANG
Jepang saat ini mendekati apa yang disebut Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri sebagai “jurang digital.” Jika perusahaan tidak segera bertransformasi, negara ini berpotensi kehilangan hingga ¥12 triliun (Rp1,35 triliun) per tahun mulai tahun depan.
Untuk menghindari krisis ini, pemerintah membentuk Badan Digital pada 2021 guna mendorong transformasi.
“Jika tidak melakukan digitalisasi, perusahaan akan tertinggal dalam produktivitas dan persaingan,” tegas Nawa.
Kesenjangan digital juga bisa menunda komunikasi lintas negara dan merusak reputasi Jepang, tambahnya.
Sebagai pusat manufaktur, keuangan, dan telekomunikasi global, Jepang menjadi target empuk peretas.
Menurut Badan Kepolisian Nasional, rata-rata insiden akses internet mencurigakan tahun lalu mencapai rekor lebih dari 9.500 kasus per hari. Hampir semua percobaan berasal dari luar negeri, terutama menarget sektor penting seperti dirgantara dan semikonduktor.
“Jepang adalah salah satu perekonomian terbesar di dunia, sehingga banyak kekayaan intelektual dan informasi yang harus dilindungi,” jelas Yohei Ishihara, evangelis keamanan di perusahaan keamanan siber Trend Micro.
Serangan siber bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa terdeteksi. Malware mencuri informasi “secara diam-diam,” tambah Tsuchiya.
Ketika peretas membobol akun Microsoft eksekutif di Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA), serangan itu tak terdeteksi berbulan-bulan hingga akhirnya ada peringatan resmi.
Kerentanan ini menjadi perhatian internasional karena dapat memengaruhi aliansi keamanan Jepang. Di bawah perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat (AS), misalnya, AS berkewajiban melindungi Jepang jika diserang.
Namun, pertahanan siber yang lemah bisa jadi titik rawan dalam aliansi, menurut mantan Direktur Intelijen Nasional AS Dennis Blair pada 2022.
Tsuchiya, yang juga wakil presiden Universitas Keio untuk keterlibatan global, mengatakan: “Jika sesuatu terjadi di Asia Timur, misalnya di Taiwan atau Semenanjung Korea, Jepang harus bergantung pada AS."
“Tetapi jika militer AS tidak percaya pada sistem digital pemerintah atau Pasukan Pertahanan Diri Jepang, keamanan nasional bisa terancam.”
BAGAIMANA JEPANG MENGEJAR KETERTINGGALAN
Meski diawali dengan lambat, Jepang kini mendorong reformasi digital untuk mengejar ketertinggalan.
April tahun lalu, pemerintah mengumumkan rencana sistem penilaian keamanan siber perusahaan. Perusahaan diwajibkan memperbarui perangkat lunak, membatasi akses data sensitif, dan memenuhi persyaratan ketat, terutama di industri strategis seperti energi dan semikonduktor.
“Jika tidak memenuhi standar, perusahaan bisa kehilangan peluang bisnis karena pelanggan menuntut tingkat keamanan tertentu,” jelas Ishihara.
Pada Mei tahun ini, parlemen Jepang mengesahkan Undang-Undang Pertahanan Siber Aktif. Aturan ini memungkinkan otoritas bekerja sama dengan penyedia infrastruktur penting untuk melacak sumber serangan—akses yang sebelumnya dibatasi undang-undang privasi data.
Selain itu, militer kini diberi kewenangan melumpuhkan server asing yang dianggap bermusuhan secara proaktif. “Pertahanan siber aktif memungkinkan hal yang belum mampu dilakukan Jepang sejauh ini,” kata Tsuchiya.
Langkah ini melanjutkan strategi keamanan nasional baru yang diumumkan pada 2022, termasuk rencana menambah personel pertahanan siber dari 890 menjadi 4.000 pada 2028, didukung 16.000 staf.
Namun, kekurangan tenaga terampil tetap menghambat. Pada 2020, Jepang kekurangan 304.000 ahli TI; angka ini diperkirakan melonjak menjadi lebih dari 545.000 pada 2030.
“Daya tampung fakultas IT sudah lama tidak berubah,” ujar Makoto Takahashi, pemimpin redaksi situs lowongan Mynavi.
“Padahal kebutuhan tenaga TI terus meningkat, sehingga persaingan rekrutmen makin ketat.”
Untuk mendukung universitas dan politeknik, pemerintah menyuntik dana ¥300 miliar (Rp 33,8 triliun) ke bidang studi baru seperti teknologi digital.
Pelajaran pemrograman komputer juga dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah sejak 2012, lalu diperluas ke sekolah dasar pada 2020 dan sekolah menengah atas pada 2022. Namun penerapan tidak merata.
“Setahu saya, hanya 3–5 jam per tahun yang dialokasikan untuk tujuan ini,” ungkap Tomohiro Murano, pendiri Arschool, penyedia kursus pemrograman.
Dalam banyak kasus, sekolah kekurangan guru berkualifikasi; pelajaran kadang hanya berupa latihan mengetik.
Meski begitu, pemerintah berencana menambah 19.000 kursi mahasiswa baru sains dan TI pada 2030.
Sementara itu, perusahaan Jepang merekrut pekerja asing. Jumlahnya meningkat tiga kali lipat menjadi 91.000 dalam satu dekade, atau 3,1 persen tenaga kerja sektor TI dan komunikasi di negara tersebut.
Namun, menarik tenaga asing tetap sulit. “Gajinya tidak setinggi di negara lain,” kata Takahashi. “Selain itu, bahasa dan budaya kerja jadi kendala.”
Tamura menilai Jepang perlu mengakhiri sistem senioritas dan diskriminasi terhadap pekerja asing. “Kita harus memberi bayaran setara negara lain dan memperlakukan mereka dengan baik agar bisa berkembang maksimal,” ujarnya.
Tantangan lain adalah keengganan warga untuk berubah. Hampir satu dekade setelah konsep Society 5.0 diperkenalkan—visi integrasi dunia maya dan nyata—“kecenderungan mempertahankan sistem warisan tak kunjung berubah,” keluh Nawa.
“Itu sebabnya digitalisasi jadi perubahan besar yang harus dilakukan. Jika gagal, pertumbuhan Jepang bisa terhenti.”
🌐 Website :
APKOFC